Kamis, 20 Januari 2011

JAMINAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP HAK ATAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

 JAMINAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP HAK ATAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh: Raymon Sitorus, SH.,M.Hum

A.      LATAR BELAKANG
Salah satu prestasi signifikan yang diraih Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rentang sejarah lima puluh tahun pertama organisasi ini berdiri adalah berhasilnya PBB menyusun satu deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Umum Hak Asasi manusia (DUHAM). Sejak pendeklarasiannya tahun 1948, isu tentang HAM terus hangat dibicarakan sampai sekarang, baik itu oleh akademisi, pers, organisasi pemerintah, lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, maupun para aktivis HAM disemua level; domestik, regional, dan internasional. Salah satu hak yang dimuat di dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia adalah hak atas pendidikan, dan hal itu kemudian diimplementasikan di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak EKOSOB) yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966,  sebagai aturan yang mengikat bagi setiap Negara yang menjadi anggota PBB dalam rangka penegakan HAM, dan Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terikat dalam Kovenan Internasional tersebut. Pendidikan merupakan salah satu akses kepada kesejahteraan, dan penegakan hak asasi manusia berasal dari pendidikan, oleh karena itu hak atas pendidikan merupakan hak asasi manusia untuk mencapai suatu kesejahteraan dan peningkatan  martabat manusia, oleh karena itu harus mendapatkan jaminan dan perlindungan dari negara terhadap hak asasi warga negara di bidang pendidikan.   
B.      PERMASALAHAN
Bagaimana jaminan Hak Asasi Manusia terhadap Hak atas Pendidikan di Indonesia

C.      PEMBAHASAN MASALAH
1.       Tujuan dan Sasaran Hak atas Pendidikan secara Universal
Hak atas pendidikan, termasuk berbagai aspek kebebasan pendidikan dan kebebasan akademis, merupakan bagian penting dalam hukum hak asasi manusia. Walaupun hak atas pendidikan secara umum dianggap sebagai hak kebudayaan, namun ia pun berkaitan dengan hak asasi manusia yang lain. Karena begitu lekatnya antara pendidikan dengan hak asasi manusia yang lain, sehingga pendidikan merupakan prasyarat bagi pelaksanaan hak asasi manusia. Pengenyaman hak sipil dan hak politik, seperti kebebasan atas informasi, kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, atau hak atas kesetaraan kesempatan atas pelayanan publik, tergantng kepada sekurang-kurangnya suatu tingkat pendidikan minimum, termasuk keaksaraan. Sejalan dengan itu, banyak hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak untuk memilih pekerjaan, hak untuk mendapatkan pembayaran yang setara untuk pekerjaan yang setara, hak untuk membentuk serikat buruh, atau hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, untuk menikmati keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan kemampuan, hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang memperoleh tingkat pendidikan minimum.
Secara universal berdasarkan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pendidikan merupakan hak setiap manusia[1].
Pentingnya pendidikan adalah bertujuan untuk memperkuat hak asasi manusia. Pendidikan merupakan salah satu alat penting untuk memajukan hak asasi manusia. Toleransi dan pengormatan terhadap hak asasi manusia tidak hanya menjadi tujuan penting pendidikan. Tujuan dan sasaran pendidikan yang berkaitan dengan hak asasi manusia ini diakui secara internasional, yang ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia bahwa:
Pendidikan harus ditujukan kearah pengembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Pendidikan harus memajukan saling pengertian, toleransi dan persahabatan diantara semua bangsa-bangsa, kelompok ras maupun agama, serta memperluas kegiatan perserikatan bangsa-bangsa dalam memelihara perdamaian
      Tujuan dasar pendidikan yang terdapat di dalam DUHAM diimplementasikan di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak EKOSOB) yang terdapat di dalam Pasal 13 ayat (1) Kovenan Hak EKOSOB sebagimana yang telah diratifikasi dalam UU No.11 Tahun 2005 yang menetapkan bahwa:
Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras etnis atau agama, dan lebih memperluas kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memeilhara perdamaian. 
Ketentuan paling rinci tentang tujuan dan sasaran hak atas pendidikan dalam hukum internasional dapat ditentukan dalam Pasal 29 (1) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak Anak.  Konvensi ini telah diratifikasi oleh sebagian besar negara anggota PBB dan karenanya, dapat dianggap sebagai standar hak asasi manusia yang paling diterima secara universal dalam bidang pendidikan[2]. Negara-negara peratifikasi sepakat bahwa pendidikan anak hendaknya ditujukan kepada:
a.       Mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan psikis anak bagi pengembangan kemampuan mereka sepenuh-penuhnya.
b.       Mengembangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar serta bagi prinsip-prinsip yang tertera atau dinyatakan dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
c.        Mengembangkan pengormatan anak-anak terhadap orang tua, identitas kebudayaanya, bahasa, dan nilai-nilainya sendri, serta bagi nilai-nilai nasional Negaranya tempat dimana anak itu hidup, atau terhadap Negara dimana ia bersal dan bagi peradaban-peradaban yang berbeda dari yang dimilikinya.
d.       Menyiapkan anak untuk hidup secara tanggung jawab dalam masyarakat yang bebas, dengan semangat saling memahami, perdamaian, toleransi dan kesamaan seks, dan persahabatan diantara semua orang, etnis, kelompok bangsa dan agama serta orang-orang dari asal usul asli.
e.        Mengembangkan penghormatan terhadap lingkungan alam.
Melihat konvensi tentang anak tersebut diatas, maka konsensus umum yang jujur tentang tujuan serta sasaran utama atas hak atas pendidikan yaitu[3]:
a.        Pendidikan memungkinkan seseorang mengembangkan kepribadian dan martabat secara bebas;
b.       Pendidikan memungkinkan seseorang untuk berpartisipasi secara aktif dalam sebuah masyarakat yang bebas dengan semangat saling menghargai dan saling toleran terhadap kebudayaan, peradaban serta agama lain;
c.        Pendidikan mengembangkan penghormatan terhadap orang tua seseorang, terhadap nilai-nilai nasional suatu bangsa, dan terhadap lingkungan alam;
d.       Pendidikan mengembangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan dasar dengan perdamaian.
Pentingnya pemajuan pendidikan dalam suatu negara sangatlah penting mengingat pendidikan merupakan salah satu alat penting untuk memajukan hak asasi manusia.
2.    Kebijakan Hak Pendidikan di Indonesia
      Pentingnya pendidikan selain untuk mecerdaskan kehidupan bangsa, untuk memajukan hak asasi manusia di Indonesia, pendidikan juga menjadi alat yang penting untuk memajukan pengetahuan, serta harkat dan martabat bangsa Indonesia. Selain pendidikan sebagai suatu hak yang diberikan berdasarkan konstitusi, pendidikan juga menjadi suatu kewajiban yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. 
      Pendidikan merupakan hak konstitusional, yang dijamin implementasinya secara nasional berdasarkan konstitusi. Di Indonesia hak ini diakui dan dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tanggung jawab negara di dalam pendidikan dituangkan di dalam pasal-pasal dalam UUD 1945, dan sasaran pendidikan secara konkret adalah “…mencerdaskan kehidupan bangsa…” sebagaimana yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Sesungguhnya jauh sebelum dibentuknya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia telah menyadari bahwa pendidikan merupakan akses kepada kehidupan bangsa yang cerdas dan bermartabat, oleh karena itu hak atas pendidikan dijamin di dalam konstitusi UUD 1945 sebagaimana yang tertuang di dalam pasal:
a.)      Pasal 28 C UUD 1945
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

b.)      Pasal 28 E ayat (1)
“Setiap orang bebas… memilih pendidikan…”

c.)      Pasal 31 ayat (1)
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

d.)     Pasal 31 ayat (2)
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

e.)      Pasal 31 ayat (3)
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

f.)       Pasal 31 ayat (4)
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.

g.)     Pasal 31 ayat (5)
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Akses kepada pendidikan tersebut dituangkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), akses rakyat terhadap pendidikan tersebut dituangkan di dalam pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan: 
  1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
  2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
  3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
  4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
  5. Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatan pendidikan sepanjang hayat.
Selain hak atas pendidikan yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945, hak atas pendidikan juga diimplementasikan di dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic Social And Cultural Rights (Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya).
3.       Penerapan Kebijakan Jaminan Hak atas Pendidikan di Indonesia

Penerapan hak atas pendidikan sebagai hak asasi warga negara seharusnya diterapkan secara progresif. Menurut teori hak asasi manusia kontemporer, ketentuan-ketentuan ini menciptakan kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pendidikan melalui tindakan-tindakan langsung[4]. Kebanyakan ketentuan menetapkan beberapa hal sebagai berikut sebagai kewajiban atas hasil, yaitu[5]:
a.        pendidikan dasar hendaknya bebas dan wajib bagi semua;
b.       pendidikan lanjutan hendaknya tersedia dan terjangkau oleh semua orang; disamping itu pendidikan yang bebas biaya dan bantuan keuangan untuk orang-orang yang membutuhkan hendaknya dilakukan secara progresif;
c.        pendidikan tinggi hendaknya dapat dijangkau oleh semua orang berdasarkan pertimbangan kemampuannya; pendidikan yang bebas biaya hendaknya diupayakan secara progresif;
d.       pendidikan dasar hendaknya diintensifkan pelaksanaannya bagi orang-orang yang tidak memperoleh pendidikan dasar yang lengkap;
e.        program-program pendidikan khusus hendaknya diadakan bagi penyandang cacat;
f.         pemberantasan buta huruf dan kebodohan.
Penerapan pendidikan gratis dan berpihak kepada rakyat secara progresif, pada awalnya sangatlah sulit untuk diterapkan. Pendidikan belum berpihak kepada rakyat, secara khusus rakyat miskin, dan negara tidak menyediakan akses keadilan bagi masyarakatnya secara keseluruhan kepada pemenuhan hak atas pendidikan. Sebelum dilakukannya amandemen keempat terhadap UUD 1945, hak pendidikan masih dipandang sebelah mata, namun setelah dilakukannya amandemen ke empat konstitusi UUD 1945 hak pendidikan telah menjadi perhatian negara dan secara de jure menjadi tanggung jawab negara berdasarkan konstitusi untuk merelokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 20 %. Namun penerapan terhadap anggaran 20% dari APBN untuk sektor pendidikan belum dijalankan sepenuhnya oleh negara. Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan oleh banyak pihak. Kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini.
UUD 1945 yang secara secara de jure telah menjadi landasan konstitusional untuk diterapkan dan ditegakkannya pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara Indonesia namun secara de facto pelanggaran hak konstitusional terhadap warga negara masih terjadi di dalam bidang pendidikan, yaitu masih banyaknya warga negara indonesia yang tidak dapat mengakses pendidikan, atau putus sekolah/ tidak dapat melanjutkan sekolah.
Berdasarkan data informasi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa sekitar 685.987 siswa Sekolah Dasar terancam putus sekolah pada tahun 2004-2005.  Pemerintah Indonesia sebenarnya sejak Tahun 1984 telah mencanangkan Program Wajib Belajar 9 Tahun (SD dan SMP) hingga 20 Tahun. Wajib belajar seharusnya dibiayai oleh negara dan tidak boleh memungut biaya, namun pada kenyataannya belum sepenuhnya dibiayai oleh negara, dan tetap saja memungut biaya dari siswa atau wali murid. Tetapi sejak tahun 2005 tepatnya pada bulan Juli pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Program Biaya Operasional Sekolah yaitu dengan dikucurkannya dana senilai Rp. 6,27 triliun yang berasal dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM kepada 39,61 juta siswa Sekolah Dasar dan SMP di seluruh Indonesia. Akan tetapi jumlah dana yang dialokasikan untuk pendidikan masih sangat kecil yaitu pada tahun 2006 jumlah dana yang dialokasikan hanya 8,6% dari amanah UUD 1945 sebesar 20% dari anggaran APBN[6]. Dengan adanya ketidakseriusan pemerintah di dalam menjalankan amanah konstitusi yang bertujuan untuk ditegakkannya hak-hak pendidikan warga negara, maka hal itu dapat semakin menjerumuskan bangsa indonesia ke lembah kebodohan, mengingat kondisi mahalnya pendidikan saat ini telah menyebabkan terhambatnya akses pendidikan bagi warga negara, dan lebih dari itu terhambatnya akses pendidikan bagi warga negara indonesia menyebabkan akan semakin terpuruknya penghormatan terhadap hak asasi bagi setiap masing-masing warga negara indonesia.
Angin segar segera berhembus atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materil UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pada Pasal 49 ayat (1) terhadap Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 amandemen yang menyatakan anggaran . Putusan tersebut dijatuhkan pada tanggal 1 Mei 2008 tepat pada hari pendidikan nasional. Akibat dari adanya putusan tersebut pemerintah harus melaksanakan amanah putusan Mahakamah Konstitusi dalam anggaran pendidikan di APBN. Pemerintah pada APBN Tahun 2009 akhirnya memenuhi amanah UUD 1945, yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN[7].
Putusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi telah memberikan paradigma baru mengenai kewajiban negara dalam membiayai pendidikan bagi rakyatnya, bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa hendaknya tidak dilakukan dengan setengah-setengah. Sekolah gratis pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara berdasarkan konstitusi dalam UUD 1945. Pasal 31 Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Yang juga tertuang di dalam Kovenan Hak Ekosob yang diratifikasi dalam UU No.11 Tahun 2005 pada Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan: “Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara Cuma-Cuma bagi semua orang”
Dengan adanya wajib belajar dan sekolah gratis, hal demikian akan mengurangi adanya anak-anak putus sekolah, gagal melanjutkan pendidikan atau bahkan buta huruf. Sehingga hak-hak pendidikan yang menjadi hak asasi yang diakui dan dijamin UUD 1945 dapat dinikmati oleh warga negara secara keseluruhan.
D.         KESIMPULAN
Hak atas pendidikan merupakan hak atas setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan, serta meningkatkan harkat dan martabat manusia di dalam kehidupan sosialnya. Jaminan Hak atas pendidikan Indonesia secara konstitusional sesungguhnya telah dijamin dan diakui di dalam konstitusi berdasarkan UUD 1945, namun di dalam menjalankan kewajiban pemenuhan hak atas pendidikan sebagaimana yang telah diamanahkan di dalam UUD 1945, negara masih setengah hati menjalankannya. Dengan demikian kebijakan yang dijalankan setengah hati oleh negara berakibat kepada masih banyaknya warga negara yang mengalami keterhambatan akses pendidikan. Akibatnya banyak warga negara yang mengalami pelanggaran hak-hak konstitusional yang dilakukan negara. Dengan adanya putusan Mahakamah Konstitusi yang menegakkan amanat konstitusi, mengharuskan negara serius di dalam menjalankan kewajiban memenuhi hak atas pendidikan bagi warga negaranya dalam menyediakan serta memberikan akses pendidikan kepada warga negaranya secara gratis.  


DAFTAR PUSTAKA
Hasan Suryono, Kondisi Penegakan Hak Asasi Manusia di bidang pendidikan (Studi singkronisasi dan infentarisasi hukum), Universitas Sebelas Maret, 2007
Manfred Nowak, Hak Atas Pendidikan, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Teks Revisi Kedua, English, 2001.
P. Alston, The United Nations and Human Rights; A Critical Appraisal, 1992.




[1] Hal ini ditetapkan secara universal dalam Pasal 26 ayat (1) DUHAM: Setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan sekolah dasar. Pendidikan dasar harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. 
[2] Manfred Nowak, Hak Atas Pendidikan, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Teks Revisi Kedua, English, 2001, Hal 267.
[3]) Ibid hal. 268.
[4] ) P. Alston, The United Nations and Human Rights; A Critical Appraisal, 1992. Hal.473.
[5] ) Manfred Nowak, Hak Atas Pendidikan, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Teks Revisi Kedua, English, 2001, hal. 273
[6] )Hasan Suryono, Kondisi Penegakan Hak Asasi Manusia di bidang pendidikan (Studi singkronisasi dan infentarisasi hukum), Universitas Sebelas Maret, 2007, hal. 2

PERLINDUNGAN HUKUM DUBBER DALAM HAK CIPTA

PERLINDUNGAN HUKUM DUBBER DALAM HAK CIPTA

Oleh: Raymon Sitorus, SH.,M.Hum


A.     Pendahuluan

Kemajuan teknologi audio visual saat ini memegang peranan penting di dalam dunia hiburan pada saat ini. Salah satu kemajuan dalam kesenian dan teknologi audio visual adalah, dikenalnya Dubbing di dalam dunia perfilemen. Di Indonesia dunia Dubbing (sulih suara) sesungguhnya telah dikenal cukup lama, teknik ini menjadi salah satu alternatif dalam proses penerjemahan film televisi, selain subtitiling (teks terjemahan yang muncul di bagian bawah layar televisi). Sebagai contoh di TVRI dulu ada serial Little Missy, di stasiun televisi swasta ada film Doraemon, Marimar, telenovela, film Mandarin dan film lainnya yang telah disulih suarakan.

Teknik dubbing ini merupakan suatu seni, dimana si Dubber (penyulih suara) memainkan menggunakan teknik seni yang dimilikinya dalam mengisi suara dialog yang diterjemahkan, sehingga komunikasi yang disulihkan menjadi pas dengan gaya dan penekanan komunikasi, sesuai yang ingin disampaikan. Tidak jarang justru suara seorang Dubber menjadi karakter dalam film tersebut di negara yang menayangkan siaran tersebut, dan menjadi familiar di telinga pemirsanya. Sebagai contoh, pengisi suara dalam film Doraemon, film Crayon Sinchan (suara Sinchan, ibu Sinchan dan bapak Sinchan). Dengan demikian, tentu saja kegiatan yang dilakukan oleh seorang Dubber merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan kemampuan seni yang tinggi, layaknya yang dimiliki oleh artis/aktor, atau pengisi suara aslinya dalam menampilkan suatu  tayangan audio visual. Yang menjadi pertanyaan dalam pembahasan dalam naskah ini, adalah, apakah Dubber mendapatkan perlindungan hukum di bidang hak cipta.

B.     Dubbing dalam kaitanya dengan Hak Kekayaan Intelektual

Dubbing sebagai suatu teknik sulih suara, merupakan bagian dari berkesenian dalam media ekspresi di dalam media ekspresi audio visual. Kesenian ini biasanya diterapkan dalam drama, film, yang membutuhkan sulih suara, agar dapat disampaikan dan diterima dengan jelas oleh penontonnya.  Dengan demikian, sebelum kita membahas lebih dalam mengenai perlindungan Dubbing, kita harus mencari tahu terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan Dubbing. Amir Hasanpour menjelaskan bahwa Dubbing is the replacement of the dialogue and narration of the foreign or source language into the language of the viewing audience, the target language. (Kegiatan mengganti dialog dan narasi dari bahasa sumber, dengan menggunakan bahasa dan narasi yang digunakan dan dipahami oleh audience/ pemirsa).

Sedangkan menurut sumber Wikipedia, yang dimaksud dengan Dubbing dalam penjelasanya dinyatakan sebagai berikut:

Dubbing is the post-production process of recording and replacing voices on a motion picture or television soundtrack subsequent to the original shooting. The term most commonly refers to the substitution of the voices of the actors shown on the screen by those of different performers, who may be speaking a different language… remains in use to enable the screening of audio-visual material to a mass audience in countries where viewers do not speak the same language as the original performers.

Berdasarkan sumber Wikipedia tersebut, adapun kesimpulan yang dapat ditarik mengenai Dubbing adalah:
  1. Bahwa Dubbing merupakan kegiatan melakukan sulih suara (menggantikan bahasa dialog), dari bahasa sumber.
  2. Dilakukan bukan oleh actor/aktris/ performer dengan menggunakan bahasa dan narasi yang berbeda.
  3. Ditujuan untuk pemirsa yang memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa aslinya.

Berdasarkan pengertian diatas, jelas bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Dubber, tentu saja juga memiliki peranan penting dalam kesuksesan suatu penayangan audio visual, jika tayangan audio visual tersebut merupakan tayangan/ film animasi, yang juga diisi oleh dialog actor/aktris yang atraktif dan menarik penonton. Yang menjadi pertanyaan kemudian lebih lanjut dalam sub ini, adalah, apakah dubbing itu sendiri memiliki keterkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. 

Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu hak kebendaan menurut hukum perdata, dimana hak tersebut merupakan hak atas sesuatu yang bersumber dari hasil kerja otak, dan hasil kerja rasio[1]. Hasil kerja otak tersebut dirumuskan sebagai intelektualitas. Hasil intelektualitas tersebut, memiliki nilai ekonomi yang patut diapresiasi, dan wajib mendapatkan perlindungan oleh hukum, karena nilai ekonomi tersebut merupakan hak milik yang wajib dilindungi. 

Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari hukum kebendaan, yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil), dimana benda dalam hukum perdata diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori, diantara kategori tersebut, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud[2].

Dalam Hak Kekayaan Intelektual, kebendaan itu tidak ada sama sekali menampilkan suatu kebendaan nyata (benda tidak berwujud), dan bukanlah kebendaan materil (benda berwujud). Kekayaan intelektual merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam bentuk, baik materil maupun immateril. Sedangkan menurut perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual, bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi, akan tetapi daya cipta itu sendiri, dimana daya cipta itu sendiri dapat berwujud dalam bidang seni, industri, dan ilmu pengetahuan atau panduan ketiga-tiganya[3].

Batasan perlindungan di dalam Hak Kekayaan Intelektual, adalah terpisah. Terpisahnya antara Hak Kekayaan Intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Bentuk jelmaaan adalah suatu benda berwujud yang merupakan hasil dari karya intelektual, sedangkan Hak Kekayaan Intelektual itu adalah haknya yang merupakan kemampuan (skill and knowledge) yang merupakan hasil keratifitas olah pikir intelektual yang menjadi haknya. Sehingga perlindungan yang tertinggi dalam Hak Kekayaan Intelektual, adalah haknya dan bukan pada barangnya. Dimana haknya dapat mengikuti kebendaan yang merupakan hasil kreatifitasnya, dan itulah yang dilindungi oleh hukum perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

Dalam system perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang dianut oleh internasional, bahwa Hak Kekayaan Intelektual itu dikelompokan menjadi 2, yaitu: (a) Hak Cipta (Copy Rights)[4] dan (b) Hak Milik Industry (Industrial Property Rights)[5]. Kemudian apakah hubungan antara Dubbing dengan Hak Kekayaan Intelektual, dan dimanakah letak Dubbing dalam Hak Kekayaan Intelektual.

Bahwa sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, jelas bahwa Dubbing merupakan suatu kegiatan seni sulih suara yang dimainkan oleh seorang Dubber, dalam mengisi suara yang telah diterjemahkan dengan bahasa yang dipahami oleh penonton. Kegiatan Dubbing ini dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan seni, karena pengisian suara (sulih suara) oleh Dubber, membutuhkan keahlian, karakter, seni suara, yang tidak ada bedanya dengan peran seorang actor dalam suara asilnya (khususnya untuk film kartun), dalam mengisi suara dialog dalam narasi. Kegiatan yang dilakukan oleh seorang Dubber itulah yang merupakan hasil olahan kemampuan seni yang merupakan skill seorang individu yang mendapatkan tempat pengaturan di dalam objek Hak Kekayaan Intelektual.


C. Dubbing Dalam Perlindungan Hak Cipta
1. Performer dalam Hak Cipta
Hukum Hak Kekayaan Intelektual memiliki salah satu cabang yang memberikan pengaturan mengenai hasil intelektual di bidang kesenian, dan ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu buah olah pikir manusia, dan memiliki nilai ekonomi yang merupakan has seorang seniman ataupun kreator seni/ penciptanya. Salah satu cabang yang memberikan pengaturan dan perlindungan di bidang seni adalah, perlindungan dalam cabang hukum Hak Cipta.

Dalam sistem Hak Cipta yang dianut oleh sistem Hak Kekayaan Intelektual internasional, mengenal konsep Neighboring rights[6], dimana dalam Neighboring rights, terdapat 3 hak yaitu:
1.                the rights of performing artist in their performance (hak penampilan artis atas tampilannya).
2.                the rights producers of phonograms in their phonograms (hak produser rekaman suara atau fiksasi atas karya rekaman suara tersebut).
3.                the rights of broadcasting organization in their radio and television broadcasts (hak lembaga penyiaran atas karya siarannya melalui radio).

Apakah yang dimaksud dengan Hak Cipta itu, menurut UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah
“Hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pencipta adalah
“Seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.

Antara pencipta dengan neighboring rights, tidak ada perbedaan yang tajam diantara keduanya. Bahwa sebuah karya pertunjukan atau karya seni lainnya yang diarkan oleh lembaga penyiaran, di dalamnya terdapat perlindungan hukum kedua hak ini. Hak Cipta (copy rights) berada ditangan si pencipta atau produsernya, sedangkan neighboring rights dipegang oleh lembaga penyiaran yang mengumandangkan siaran tersebut[7].

Di dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, mengenal perlindungan hukum terhadap Pelaku Seni (Performer) yang merupakan aktor, atau yang memperagakan/ mempertunjukan kegiatan seni. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, memberikan pengaturan mengenai perlindungan seorang Performer.

Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya”.

Banyak aspek perlindungan Hak Cipta yang dapat diberikan apabila seorang seniman (performer) mempertunjukan skill seninya, sebagai contoh seorang penyanyi yang mengadakan pertunjukan seni. Penyanyi tersebut memiliki hak copy rights atas karya rekaman suara yang ditampilkanya, sedangkan neighboring rights dalam hak atas penampilannya. Hak atas tampilannya tersebut dapat berwujud seperti video clip ataupun siaran langsung dari pertunjukan tersebut yang disiarkan untuk tujuan konsumsi publik.

Dengan adanya pengaturan dan perlindungan seorang pelaku di dalam perlindungan Hak Cipta di Indonesia, pasal 49 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, menyatakan bahwa seorang Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannua membuat, memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar dari pertunjukannya. 

2. Dubbing sebagai suatu hasil seni yang dilindungi oleh Hak Cipta

Jika dikaitkan dengan perlindungan Hak Cipta berdasarkan pengertian di atas, menjadi pertanyaan adalah, apakah Dubbing masuk ke dalam ruang lingkup dalam pengertian Hak Cipta, karena Dubbing bukanlah dilahirkan dan diciptakan oleh seorang Dubber, melainkan oleh seorang pencipta (penulis script naskah), sedangkan Dubber hanyalah orang yang membacakan narasi/ dialog dalam skrip yang telah dialih bahasakan.

Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, bahwa kegiatan Dubbing merupakan suatu kegiatan sulih suara, yang dilakukan oleh serorang Dubber (penyulih suara) dalam mengisi suara dari suatu karya seni filem/ audio visual, dengan narasi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa konsumen lokal, yang dibacakan sesuai dengan isi narasi. Sebagai contoh, suatu karya Doraemon[8] selama lebih dari 20 (dua puluh) tahun bercokol diperingkat tertinggi serial kartun yang digemari, dimana di dalam filem tersebut ada beberapa tokoh penting yaitu: Doraemon, Nobita, Gyan, Suneo dan Sizuka, dan masih ada tokoh lainnya. Serial kartun Doraemon ini diciptakan oleh Fujimoto Hiroshi pada tahun 1969, dan di Indonesia disiarkan dalam serial televisi yang disiarkan oleh RCTI, dengan narasi yang teleh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan disampaikan ke dalam bahasa Indonesia oleh beberapa tokoh penyulih suara dengan beberapa karakter suara yang melekat dengan telinga para pemirsa yang menikmati siaran tersebut. Para pengisi sulih suara (Dubber) tidaklah sembarangan di dalam menyampaikan isi narasi terjemahan, para pengisi sulih suara tersebut menyampaikan dialog sesuai dengan karakter asli dalam filem tersebut.

Bagaimanakah dengan Dubbing di dalam perlindungan Hak Cipta. Dubbing jelas sangat berbeda dengan pengisi suara aslinya. Pengisi suara asli mengisi suara pada saat pembuatan (pra-produksi) suatu filem, setelah diperankan oleh si aktor/aktris yang mengisi suatu tampilan seni audio visual. Jika dilihat dari sudut pandang Hak Cipta, penampilan aktris itulah yang memiliki copy rights (apabila dalam karya musical cth dalam filem India) atas karya musikal suaranya, dan memiliki performers right dalam tampilannya di dalam suatu karya audio visual filem. Jika demikian bagaimanakah dengan kedudukan si dubber di dalam mengisi sulih suara dalam film tersebut, karena jika Dubbing merupakan suatu seni, apakah undang-undang Hak Cipta memberikan perlindungan bagi Dubbing.

Berdasarkan pengertian yang diambil dari Wikipedia, pengertian Dubbing menurut pengertian asing, unsur yang utama dari pengertian Dubbing adalah:
“…commonly refers to the substitution of the voices of the actors shown on the screen by those of different performers, who may be speaking a different language…”
Adapun unsur yang dapat ditarik adalah bahwa:
  1. Dubbing merupakan kegiatan menggantikan suara dialog aktor/aktris.
  2. Dilakukan oleh pelaku yang berbeda (yang satu pelaku actor/aktris yang menampilkan dan yang satu hanya menampilkan isi dialog yang telah diterjemahkan).
  3. Disampaikan dengan menggunakan bahasa yang berbeda (yang telah diterjemahkan dari bahasa aslinya untuk tujuan kemudahan konsumsi publik).

Sedangkan Pelaku di dalam perlindungan Hak Cipta adalah meliputi unsur:

1.      Aktor;
2.      penyanyi;
3.      pemusik;
4.      penari;
5.      orang yang menampilkan karya seni;
6.      orang yang memperagakan karya seni;
7.      orang yang mempertunjukan;
8.      orang yang menyanyikan;
9.      orang yang menyampaikan;
10.  orang yang mendeklamasikan;
11.  orang yang memainkan karya musik;
12.  orang yang memainkan drama;
13.  orang yang memainkan seni tari;
14.  orang yang memainkan seni sastra;
15.  orang yang memainkan seni folklore;
16.  orang yang memainkan karya seni lainnya.

Dengan penjelasan di atas, apakah seorang Dubber juga merupakan seroang Pelaku yang atur dalam undang-undang tentang Hak Cipta. Kegiatan seni seorang Dubber dalam kegiatan seni sulih suara (Dubbing) adalah merupakan suatu seni, mendeklamasikan suatu seni sastra, ataupun memainkan suatu seni sastra hasil sulih suara dari suatu narasi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Narasi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lokal itu sendiri memiliki perlindungan tersendiri di dalam perlindungan Hak Cipta.

Dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang dlindungi sebagai bahan ciptaan salah satunya adalah “Karya Terjemahan”. Narasi yang telah diterjemahkan merupakan suatu karya tersendiri yang memiliki perlindungan tersendiri di dalam hukum Hak Cipta, tanpa mengurangi Hak Cipta atas ciptaan aslinya. Hak cipta atas naskah maupun hak siar atas suatu karya seni tersebut biasanya dibeli, dengan perjanjian lisensi antara pembeli hak siar dengan perusahaan produser film tersebut. Lembaga penyiaran tersebut memiliki hak eksklusif untuk melakukan penyiaran suatu karya filem/audio visual. Sedangkan orang yang melakukan Dubbing/Dubber sama halnya dengan seorang pelaku/ performer yang menampilkan/ mendeklamasikan suatu karya narasi, dengan menggunakan gaya, mimik yang sesuai dengan pesan dan karakter aslinya. Hasil Dubing yang telah ditayangkan tersebut, menjadi objek perlindungan Hak Cipta, dalam kaitannya dalam Performing Rights yang dilindungi oleh Hak Cipta sebagai suatu Neighboring Rights (Hak Terkait[9]).

Sebagai suatu objek yang dilindungi oleh Hak Cipta yang masuk ke dalam kategori perlindungan Neighboring Rights (Hak Terkait), seorang Dubber (Performer) juga memiliki hak eksklusif yang melekat untuk memberikan izin ataupun melakukan pelarangan terhadap penggunaan tanpa izin yang dilakukan pihak lain. Walaupun seorang Dubber memiliki kontrak kerja dengan perusahaan penyiar (lembaga penyiar), namun tidak serta merta hak eksklusif yang dimiliki oleh seorang Dubber dikesampingkan dengan adanya kontrak kerja yang mengikat tersebut. Perlindungan yang diberikan bagi pelaku Dubber di dalam Dubbing, memiliki kekuatan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang Hak Cipta di dalam memberikan perlindungan kepada serorang Pelaku (Performer)  dalam menampilkan seni Dubbing di dalam menyulih suarakan dialog di dalam siaran audio visual tersebut.


D. Kesimpulan

Bahwa seni Dubbing/ Sulih Suara, memiliki tempat di dalam objek perlindungan dalam hukum Hak Cipta. Perlindungan hukum yang diberikan masuk ke dalam objek perlindungan Neighboring Rights  (Hak Terkait) di dalam Hak Cipta menurut UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dimana seorang Dubber merupakan seorang Pelaku yang menampilkan kegiatan seni di bidang audio visual, dengan melakukan dialog hasil sulih suara yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, yang memiliki Hak Eksklusif atas hasil karya dialog sulih suara yang telah disiarkan. Posisi seorang Dubber adalah sama dengan seorang actor/aktris di dalam suatu filem/ karya audio visual. Peran yang diambil oleh seorang Dubber adalah layaknya seroang actor/aktris yang menampilkan perannya di dalam filem/ karya audio visual, oleh karena hasil narasi yang telah diterjemahkan merupakan suatu ciptaan sastra tersendiri yang menjadi objek perlindungan Hak Cipta, dan Dubber yang mendeklamasikan/mengisi dialog dalam narasi dengan menggunakan bahasa local hasil terjemahan, merupakan objek perlindungan yang merupakan hasil turunan dari ciptaan yang telah diterjemahkan dan mendapatkan lisensi dari produser untuk menampilkan siaran.


Daftar Isi

OK. Saidin, SH.M.Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004.

David Bainbridge, Intellectual Property 4th Edition, Financial Times Management, London, 1999.

UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Tambahan Lembaran Negara Republik Indonessia Nomor 4220.


[1] H. OK Saidin SH,M.Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 9
[2] Menurut pasal 422 KUHPerdata, berbunyi bahwa “benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-iap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
[3] OK. Saidin, SH, M.Hum, Opcit, hal 12
[4] Hak Cipta membagi perlindunganya dengan Hak Cipta dan Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (Neighboring Rights/Hak Terkait)
[5] Hak milik atas kekayaan intelektual di bidang industri tersebut membagi perlindunganya dalam klasifikasi (a). Paten dan paten sederhana, (b) Desain Industry, (c) Merek Dagang, (d) Perlindungan varietas tanaman, (e). rangkaian sirkuit terpadu, (f). Rahasia Dagang.
[6] Hak yang ada kaitanya, yang ada hubunganya dengan atau berdampingan dengan hak cipta.
[7] OK Saidin, Op cit hal, 134.
[8] Serial kartun Jepang yang telah hadir di stasiun televisi RCTI sejak akhir tahun 1980an, dimana serial tersebut sangat digemari oleh kalangan muda, tua, dan anak-anak, dimana serial tersebut selalu menempati rating tertinggi dalam setiap tahun penayangannya, dan hingga saat ini setelah lebih dari 20 tahun berjalan, serial ini tetap digemari baik oleh pemirsa maupun oleh pembeli jam tayang produk iklan.
[9] Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya