Kamis, 20 Januari 2011

PERAN BANTUAN HUKUM SEBAGAI PRANATA PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

PERAN BANTUAN HUKUM SEBAGAI PRANATA PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
OLEH: RAYMON, SH, MHum

A.     PENDAHULUAN
Masalah Bantuan Hukum merupakan masalah klasik yang hingga saat ini masih menjadi perjuangan masyarakat agar terciptanya keadilan bagi masyarakat. Munculnya kasus kesewenang-wenangan terhadap tersangka dalam proses pemeriksaan perkara pidana sering sekali terjadi. Perlakuan sewenang-wenang sering dialami oleh masyarakat yang awam hukum dengan dipaksa mengaku sebagai pelaku kejahatan. Kasus yang muncul mungkin hanyalah sebagian kecil dari banyaknya pelanggaran hak asasi tersangka yang terjadi pada proses pemeriksaan perkara pidana, yang luput dari perhatian kita, demikian juga di dalam permasalahan hukum perdata dimana sering sekali terjadi kasus-kasus civil deprived Rights yang dilakukan oleh penguasa yang sewenang-wenang merampas hak-hak sipil warga negara.   Hadirnya Lembaga Bantuan Hukum dan aturan mengenai bantuan hukum ternyata belum banyak membantu pemenuhan hak asasi  warga negara khususnya kepada tersangka,  hal ini terbukti masih banyaknya kasus-kasus pidana yang diproses tanpa adanya bantuan dari penasihat hukum/ Advokat, sehingga tidak jarang banyak masyarakat menjadi pasrah ketika hak-haknya ditindas dan diberikan putusan yang tidak adil oleh lembaga peradilan. Peran Negara sebagai penguasa yang memberikan perlindungan kepada warga Negara selama ini selalu menutup mata dan cenderung membiarkan permasalahan itu tetap terjadi, sehingga akses keadilan dan akses pemenuhan hak konstitusionalitas  warga Negara sering mengalami hambatan. Sehingga dimanakah tanggung jawab Negara untuk memberikan keadilan dan perlindungan bagi warga negaranya. Tulisan ini akan secara spesifik mengulas Bantuan Hukum.


B.  KASUS PELANGGARAN HAK KONSTITUSIONAL
Undang-undang Dasar menyatakan bahwa semua orang berhak atas kebebasan dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi,dan merendahkan martabat. Menurut hukum adalah suatu kejahatan bagi pejabat yang menggunakan kekerasan atau paksaan oleh pejabat untuk memperoleh pengakuan, dan hal ini dapat dikenakan hukuman penjara sampai empat tahun, namun KUHP tidak secara khusus  mengatur tindak pidana penyiksaan. Di masa lalu, aparat penegak hukum selalu mengabaikan undang-undang tersebut dan mereka juga jarang diadili di bawah undang-undang ini. Pemerintah melakukan upaya untuk menahan para aparat keamanan yang bertanggung jawab atas tindakan penyiksaan.Laporan PBB dalam Tahun 2008 menyebutkan berbagai pelanggaran hak asasi dan hak konstitusional antara lain:

1.  Dalam kunjungannya di bulan November 2007, Pelapor Khusus PBB masalah Penyiksaan menemukan bahwa dalam banyak kejadian pihak berwenang tidak mengizinkan pemberian uang jaminan, sering kali mencegah akses pada bantuan hukum selama penyelidikan, dan membatasi atau mencegah akses bantuan hukum dari organisasi sukarela pembelaan hukum. Petugas pengadilan kadang kala menerima uang suap untuk melepaskan terdakwa sebgai ganti uang jaminan.

2.  Misalnya, pada tanggal 28 April 2008,Pengadilan Negeri Jambi menghukum enam anggota Brimob masingmasing dua bulan penjara atas pengeroyokan terhadap seorang mahasiswa Universitas Batanghari. Pada tahun 2007, Pelapor Khusus PBB masalah Penyiksaan, Manfred Nowak, melaporkan bukti penyiksaan di banyak tempat tahanan kepolisian di Jawa. Nowak melaporkan bahwa penyiksaan umum di penjara-penjara tertentu dan digunakan untuk memperoleh pengakuan, menghukum tersangka, serta mencari informasi yang melibatkan orang lain dalam tindak kriminal. Penyiksaan umumnya terjadi segera setelah penahanan. Ada laporan bahwa para tahanan dipukuli dengan kepalan tangan, tongkat kayu, kabel, batang besi, dan palu. Beberapa tahanan dilaporkan telah ditembak kakinya dalam jarak dekat, disetrum, dibakar, atau dipasangi alat berat pada kakinya.

3.  Survei yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Pada bulan Januari/Februari terhadap 412 responden di berbagai rumah penahanan menemukan bahwa tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya tetap merupakan hal umum. Survei ini juga menyatakan bahwa 367 responden yang diwawancarai di kantor polisi diduga keras mengalami penyiksaan selama proses penangkapan dan interogasi. Polisi diduga keras memukul dan menendang tahanan setelah demonstrasi di Fakfak, Papua Barat, pada tanggal 19 Juli. Pada bulan Oktober, 17 orang ditahan dan diduga keras dipukuli di Jayapura setelah terjadinya demonstrasi. Salah seorang koordinator unjuk rasa menurut hasil otopsi rumah sakit meninggal akibat penyiksaan.

4.  Pada tanggal 8 Oktober 2008, Pengadilan Negeri Banda Aceh menghukum empat anggota polisi masing-masing tiga bulan penjara karena memukuli dan menganiaya secara seksual dua pria homoseksual pada bulan Januari 2007 di Banda Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Kedua pria homoseksual tersebut dianiaya secara fisik maupun lisan oleh para tetangganya dan kemudian dengan sewenang-wenang ditahan, dipukuli, serta dianiaya secara seksual oleh aparat polisi.

5.  Pada tanggal 30 Mei 2008, Peltu Masu'udi, menyiksa Mujib, warga setempat. Pada tanggal 16 Juni, Mujib yang dirawat di rumah sakit kemudian meninggal akibat cedera yang dideritanya. Masu'udi ditahan selama 21 hari di pos koramil; informasi lain mengenai hukumannya tidak dipublikasikan.

6.  Pada tanggal 22 September, seorang sipir penjara di Penjara
Abepura dekat Jayapura memukul tahanan Ferdinand Pakage, yang mengakibatkannya menderita cedera pada tangan, kaki, dan kepala,serta kehilangan penglihatan pada mata kanannya. Keadaan penjara Abepura sangat padat dan diperburuk dengan banyaknya petuga yang tidak terlatih dengan baik.

7.  Pada pertengahan 2009 kepolisian Beji Depok, melakukan penangkapan sewenang-wenang yang berujung kepada penembakan yang mengakibatkan tewasnya seorang sopir angkot, karena berjudi kartu. 

C.     BANTUAN HUKUM SEBAGAI PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL
Hak asasi manusia merupakan anugerah Tuhan yang dimiliki oleh manusia sejak manusia tersebut dilahirkan ke dunia. Menurut UU No.39 Tahun 1999 Tetang HAM di dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hokum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat”.
Hak asasi tersebut wajib untuk diakui, dihormati dan dilindungi oleh negara berdasarkan hukum. Salah satu bagian dari hak asasi yang dimiliki oleh manusia adalah hak atas adanya suatu Bantuan Hukum.  Bantuan Hukum merupakan hak asasi bagi setiap warga negara yang sedang mengalami permasalahan hukum, khususnya perkara Pidana. Dimana hak tersebut merupakan hak asasi yang paling berharga bagi tersangka atau tertuduh di dalam suatu perkara pidana. Adanya Bantuan Hukum tersebut berguna untuk memberikan perlindungan bagi tersangka yang sedang mengalami proses hukum, yang bertujuan untuk mencegah timbulnya pemaksaan, pelanggaran hak-hak asasi, dan kesewenang-wenangan yang dapat timbul pada saat proses pemeriksaan perkara; baik pemeriksaan dalam tingkat penyidikan ataupun dalam tingkat pemeriksaan di persidangan.
Di dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Pasal 10 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya”. Konstitusi negara Indonesia dalam UUD 1945 di dalam Pasal 27 (1) juga telah mengamanahkan bahwa: “ segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Equality Before The Law). Selanjutnya Pasal 28 D UUD 1945 mengamanahkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Kedua pasal tersebut secara tersirat mengamanahkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan hak untuk mendapatkan peradilan yang adil (fair trial rights)  dan hak untuk memperoleh keadilan ( access to justice rights).
Hak atas peradilan yang adil (fair trial rights) merupakan suatu  hak untuk mendapatkan perlindungan dari pembatasan hak secara sewenang-wenang atau perampasan hak asasi dan kemerdekaan setiap manusia. Hak untuk mendapatkan peradilan yang adil (fair trial rights), berhak didapatkan oleh tersangka/ tertuduh sejak dimulainya proses penanganan/ pemeriksaan oleh pihak kepolisian atas tuduhan terhadap tersangka sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ( the rights to fair trial on criminal charge is considered to start running not “only upon the formal lodging of a charge but rather on the date on which states activities substantially affect the situation of the person concerned[1]).
Hak untuk mendapatkan peradilan yang adil, adalah hak bagi setiap tersangka sebagai warga negara. Untuk dapat menuju terwujudnya suatu peradilan yang adil, maka kepada Tersangka/ Terdakwa berhak untuk mendapatkan Bantuan Hukum, yang bertujuan untuk melindungi tersangka dari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses hukum, berupa pelanggaran hak-hak tersangka, pemaksaan, dan kesewenang-wenangan. Bantuan Hukum merupakan suatu kewajiban yang wajib diberikan kepada setiap warga khususnya tersangka dalam perkara pidana pada setiap proses pemeriksaan, yang bertujuan untuk mewujudkan adanya suatu sistem peradilan pidana yang dijalankan dengan menghormati hak-hak konstitusional dan asasi setiap warga negara dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Dengan adanya pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan oleh Penasihat Hukum/ Advokat, maka suatu proses persidangan akan berjalan dengan seimbang (audi et alteram partem), oleh karena para pihak dapat memberikan pendapatnya secara bebas dan proporsional, sehingga suatu peradilan yang adil dapat terwujud.
Hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) merupakan hak asasi yang dimiliki setiap warga negara. Negara sebagai pelindung dan pemerintah, wajib untuk memberikan perlindungan dan pembelaan kepada setiap warga negara atas adanya perlakuan yang tidak adil yang dialami warga negara. Bahwa berdasarkan amanah dalam UUD 1945, setiap warga memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum, dan berhak atas perlindungan hukum yang adil, serta persamaan perlakuan hukum, sehingga hak-hak warga negara berdasarkan konstitusi wajib dijamin dan dilindungi oleh negara dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam Amandemen kedua UUD 1945 di dalam Pasal 28 I ayat (4) menyatakan bahwa: Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah. Hal ini semakin jelas, bahwa Negara berperan dan bertanggung jawab dalam pemenuhan hak konstitusional dan pemenuhan hak asasi warga negaranya secara penuh.
 Akses keadilan (access to justice) merupakan sesuatu yang penting, terhambatnya hak-hak keadilan masyarakat, tidak jarang lebih banyak disebabkan oleh karena ketiadaan akses keadilan yang berpihak kepada masyarakat miskin dan teraniaya. Peraturan perundangan yang ada dalam hukum positif Indonesia, yang mengatur mengenai pemberian bantuan hukum, terdapat di dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), dan aturan mengenai Kode Etik Advokat; terhambat oleh karena akses keadilan yang terdapat di dalam peraturan tersebut belum mengakomodasi adanya suatu aturan yang berpihak kepada masyarakat miskin dan teraniaya. Ketiadaan akses keadilan bagi masyarakat miskin tersebut itulah yang menyebabkan masyarakat miskin harus terus menerus teraniaya oleh perlakuan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak-pihak yang pemangku kekuasaan dalam proses peradilan pidana, hal ini menunjukan bahwa hukum memang belum berpihak kepada orang miskin, lemah dan teraniaya.
Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan hak-haknya dalam suatu proses peradilan, yang bertujuan untuk melindungi individu warga negara atas adanya kesewenang-wenangan dan perampasan hak-hak dasar manusia. Untuk terciptanya suatu tujuan tersebut, maka adanya suatu pengaturan yang kongkret mengenai pemberian Bantuan Hukum merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi, aturan tersebut dapat dijadikan satu bab khusus secara lengkap dalam KUHAP. Bantuan Hukum yang konkret bukanlah Bantuan Hukum yang sifatnya limitative atau terbatas, namun merupakan suatu bantuan hukum yang tanpa batas dan secara lengkap (ad infinitum), yang dapat diakses dan diberikan kepada setiap warga negara khususnya masyarakat miskin yang sedang menjalankan proses pemeriksaan dalam suatu perkara pidana maupun perdata.
D.     PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM
Masalah Bantuan Hukum sesungguhnya adalah masalah klasik. Masyarakat miskin telah lama berharap akan adanya suatu proses peradilan yang adil yang dapat diakses oleh setiap warga negara, dengan adanya pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum secara kongkret, yang dapat mengakomodir kepentingan hak-hak tersangka/ terdakwa dalam proses pemeriksaan pidana. Tetapi aturan yang lahir hanyalah aturan yang lemah aturan dan penegakkannya sehingga tidak memiliki arti penting dalam mewujudakan pemenuhan hak asasi warga negara/ tersangka untuk dapat memperoleh peradilan yang adil dan akses kepada keadilan; hal demikian layaknya peribahasa “de Bergen baren, een belachelijk muisje wordtgeboran” (gunung-gunung bersalin, maka lahirlah seekor tikus kecil yang lucu)[2]. Hal ini terlihat dari lemahnya penegakan pemberian Bantuan Hukum yang diatur dalam peraturan perundangan.
Banyak aturan hukum yang mengisyaratkan mengenai pemberian Bantuan Hukum, namun tidak satupun yang secara tegas mengatur mengenai pemberian Bantuan Hukum:
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di dalam  Pasal 37 menyebutkan:
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di dalam Pasal:
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari  eorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, Menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat
              (1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
UU Advokat di dalam Pasal 22 ayat 1 menyebutkan bahwa:
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dimana di dalam Peraturan Pemerintah ini juga memuat sanksi administrative bagi Advokat yang menolak memberikan bantuan hokum secara Cuma-Cuma.
Peraturan yang indah tersebut di dalam kenyataannya tidaklah seindah das sein atau pada kenyataannya. Dimana kerap kali Advokat yang ditunjuk oleh kepolisian/Pengadilan merupakan advokat yang tidak memiliki kualitas secara moral yang memadai, atau menurut pasal 56 KUHAP persyaratan mengenai pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma tidaklah menyentuh permasalahan pada kenyataannya, dimana pemberian Bantuan Hukum yang diberikan hanyalah untuk kasus-kasus yang diancam dengan pidana mati atau ancaman lima belas tahun atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun.
Pranata yang diberikan di dalam KUHAP Pasal 56 tersebut sering sekali tiada arti, pengalaman penulis menyaksikan betapa hak masyarakat tidak mampu sering sekali ditindas. Dimana pasal 56 KUHAP tersebut hanya diberikan pada saat pemeriksaan di pengadilan, dan bukan kewajiban menunjuk penasihat hokum sejak saat pemeriksaan di tingkat kepolisian. Sehingga sering sekali kepolisan menggunakan cara-cara kekerasan/penyiksaan sekedar untuk memaksakan pengakuan[3]. Atau sering sekali pelaku pidana oleh kepolisan dipaksa untuk membuat pernyataan tidak ingin menggunakan jasa bantuan hukum.
Jika itu untuk kasus pidana yang disyaratkan di dalam Pasal 56 KUHAP, lalu bagaimanakah dengan Tersangka/Terdakwa yang dalam aturan materilnya diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, seperti kasus penipuan, pengeroyokan, pemerasan, dan masih banyak kasus lainnya yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun. Pengalaman penulis sebagai Pembela Publik/ Pengacara Publik pada saat bekerja di Lembaga Bantuan Hukum, sering sekali melihat kenyataan itu, dimana banyak kasus pidana pada waktu pemeriksaan di kepolisan tidak diberikan hak untuk mendapatkan Bantuan Hukum, sehingga kasus penganiayaan/ penyiksaan terhadap tahanan sering sekali terjadi.  Hati penulis sering kali merasa sedih ketika melihat ketidakadilan yang ada di pengadilan, dimana Terdakwa pada saat pemeriksaan di pengadilan tidak didampingi oleh Penasihat Hukum oleh karena ketidakmampuannya menggunakan Penasihat Hukum, sehingga sering sekali Jaksa dan Hakim sewenang-wenang menghukum, dan bahkan terkadang Hakim justru menjadi Jaksa Penuntut, dimana pada saat pemeriksaan Hakim justru over acting dengan tidak bersikap Objektif, tetapi terus menerus menuduh Terdakwa.
Penindasan keadilan bagi rakyat miskin dan teraniaya ini semakin disakiti oleh adanya komersialisasi advokat dan tidak imbangnya kasus hukum di masyarakat dengan pemberi bantuan hukum, membawa dampak pula pada tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas pelayanan bantuan hukum. Dimana pada kenyataannya banyak advokat yang selalu menolak pemberian bantuan hokum bagi masyarakat miskin dan teraniaya, dan impunitasnya organisasi advokat dalam memberikan bantuan hokum, yang menyebabkan semakin merananya masyarakat miskin dan teraniaya oleh karena penindasan keadilan yang dialaminya. 
Penyediaan Akses keadilan dan akses kepada peradilan yang adil mutlak dibutuhkan, dan Penyediaan Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma bagi masyarakat miskin yang tidak mampu dan teraniaya harus mendapatkan perhatian dari Negara dengan membuat suatu peraturan perundangan khusus yang mengatur mengenai Pemberian Bantuan Hukum. Adanya UU Bantuan Hukum, akan mengisi kekosongan peran advokat dalam pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Pemberian bantuan hukum harus diperluas dengan melibatkan masyarakat sipil yang telah aktif dalam pemberian bantuan hukum. Termasuk didalamnya diatur pula penyediaan anggaran oleh Negara melalui APBN dan APBD.




E. PENUTUP
Akses keadilan dan peradilan yang adil merupakan suatu Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh Warga Negara yang diatur di dalam konstitusi UUD 1945. Negara bertanggung jawab untuk menyediakan pranata hokum untuk memberikan akses bagi masyarakat miskin, yang mengatur mengenai pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma (Pro deo Pro Bono) secara khusus berupa Undang-Undang Bantuan Hukum. Ketiadaan penyediaan Akses Keadilan dan Peradilan yang adil bagi masyarakat, adalah pelanggaran hak konstitusional dan mustahil dapat mewujudkan masyarakat yang adil, makumur dan sentosa jika akses tersebut tidak disediakan oleh Negara sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.     



[1] Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary (N.P. Engel, Arlington: 1993) [hereinafter Nowak Commentary], at 244

[2] V.B da Costa S.H. dalam Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia mengenai RUU Hukum Acara Pidana, tanggal 8 November 1979.
[3] Seperti kasus salah tangkap di Jombang pada Tahun 2007, atas salah satu kasus pembunuhan oleh Ryan sang Penjagal, dimana sebelumnya kepolisan melakukan kesalahan penangkapan, dan dalam pengakuan korban, korban di paksa mengaku bahwa korbanlah pelaku pembunuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar