Kamis, 20 Januari 2011

PENERAPAN MIRANDA PRINCIPLES DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RUU KUHAP

 PENERAPAN MIRANDA PRINCIPLES DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RUU KUHAP[1]
Oleh: Raymon Sitorus, SH, MHum[2].
A.     Kekerasan dalam proses peradilan pidana
Lahirnya KUHAP pada tahun 1981 merupakan tonggak lahirnya reformasi hukum acara dalam peradilan pidana. Lahirnya KUHAP menandai ditanggalkannya hukum acara peradilan pidana rezim kolonial Belanda, sebagaimana yang diatur di dalam Het Herzeine Indonesich Reglement (HIR) yang sudah tidak sesuai dengan konsep penegakan Hak Asasi Manusia pasca lahirnya Deklarasi Hak Asasi Manusia secara Universal pada tahun 1948, atau secara nasional ketetuan pasal-pasal peradilan pidana yang tertuang di dalam HIR sudah tidak sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang trauma terhadap ketentuan pidana HIR, yang telah dijadikan hukum acara bagi peradilan para pejuang kemerdekaan dan rakyat Indonesia.
            Pasca kemerdekaan tepatnya dunia pada tahun 1963 telah diadakan reformasi dalam Sistem Peradilan Pidana, mengenai hukum acara peradilan pidana, dengan adanya Jurisprudensi dari negara Amerika Serikat pada negara bagian Arizona, atas kasus pelanggaran hak asasi tersangka/ terdakwa sebagaimana yang dialami oleh Ernesto Miranda, yang melahirkan Miranda Principles. Miranda Principles diartikan sebagai suatu aturan yang mewajibkan polisi untuk memberikan hak-hak seseorang sebelum diperiksa oleh penyidik.
            Sesuai dengan semangat pembaharuan hukum acara pidana sesuai dengan semangat reformasi sistem peradilan pidana, penerapan Miranda Principles merupakan suatu harga mati dalam rangka penghormatan terhadap hak-hak asasi bagi tersangka/terdakwa. Di Indonesia sejak pasca dibentuknya HIR sampai dengan dibentuknya UUU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, setiap orang yang melanggar hukum, setiap seseorang yang dituduh sebagai tertuduh pelaku kejahatan kerap dijadikan objek pemeriksaan, yang dilakukan oleh petugas kepolisian untuk mengungkap fakta-fakta hukum, dengan cara-cara memaksa melalui instrument kekerasan, yang menyebabkan si tertuduh terkadang terpaksa mengakui tuduhan yang diberikan oleh polisi walaupun si tertuduh tersebut bukanlah pelaku kejahatan, sebagai contoh: kasus penyiksaan oleh seorang tahanan di Polesek Muara Angke Jakarta Utara[3], tahanan yang dipukuli oleh para oknum kepolisian Polsek Serpong Tanggerang[4], dua sejoli pasangan  homoseksual yang mengalami penyiksaan dan pelecehan sexual oleh oknum Polsek Banda Raya NAD[5], seorang yang meninggal setelah disiksa dan ditembak setelah dipaksa mengaku sebagai tersangka[6], dua orang anak muda yang disiksa dan dipaksa mengaku sebagai pelaku kejahatan[7], dan masih banyak kasus lainnya, dalam hasil laporan LBH Jakarta menyatakan sebanyak 83% tahanan/terdakwa mengaku disiksa oleh pihak kepolisian[8].
            Dibangunnya konsep KUHAP yang baru sebagai revisi terhadap UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP merupakan suatu langkah baru dalam pembaharuan sistem peradilan pidana dibidang hukum acara. Oleh karenanya penghormatan kepada Hak Asasi Manusia haruslah mendapatkan perhatian di dalam pembaharuan KUHAP tersebut. 
B.    Penerapan konsep Miranda Principle dalam Hak Asasi Manusia di Indonesia
 Pengertian mengenai Miranda Principles adalah merupakan hak-hak dasar manusia atau hak-hak konstitusional tersangka yang pada pokoknya meliputi:
1.      Hak untuk tidak menjawab atau diam sebelum diperiksa dan/atau sebelum dilakukan (a right to remind silent);
2.      Hak untuk menghadirkan penasihat hukum dan hak untuk berkonsultasi sebelum melakukan penyidikan oleh penyidik (a right to the presence of an attorney or the right to council)
3.      Hak untuk disediakan penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.
Seiring dengan proses penegakan hukum berdasarkan sistem peradilan pidana di Indonesia, yang meliputi penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan, kembali, maka tidak dapat dilepaskan dengan upaya penegakan hak asasi manusia, sebagaimana yang diundangkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia sebagai hak kodrati adalah merupakan hak-hak dasar manusia yang melekat secara langgeng pada manusia itu sendiri, yang mana hak-hak tersebut sudah ada sejak manusia itu lahir ke muka bumi ini yang bersifat universal. Hak-hak yang bersifat universal tersebut, yakni:
a.      Hak untuk hidup sebagai manusia dan diperlakukan sebagai manusia secara beradab;
b.       Hak untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri, tidak seperti yang diperintah oleh kekuasaan yang berada diatasnya, termasuk hak untuk memilih iman atau kepercayaannya masing masing;
c.      Hak untuk berserikat sebagai pengejawantahan manusia adalah makhluk momodualistik, yaitu manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari komunitas social ayau manusia sebagai makhluk sosial;
d.       Hak tentang kemerdekaan berfikir dan berpendapat dan kemerdekaan bersatu dengan teman-teman yang sepaham, yang merupakan kemerdekaan untuk berkumpul dalam komunitasnya;
e.      Hak untuk bebas dari ketakutan, penekanan, pemaksaan, dan penyiksaan.
Di negara-negara yang menjunjung tinggi miranda rule sebagai penghormatan dalam, sebagai penghormatan dalam proses penegakan hukum, maka polisi dan penyidik wajib memberikan peringatan kepada tersangka bahwa dirinya mempunyai hak untuk diam (a right to remain silent), karena segala perkatanaannya dapat digunakan untuk melawannya di pengadilan, mempunyai hak untuk menghubungi dan berkonsultasi dengan penasihat hukum atau advokat, dan mempunyai hak untuk di damping oleh penasihat hukum dalam pemeriksaan terhadap tersangka. Jika tersangka tidak mampu, maka negara memberikan bantuan secara gratis[9].
Karena pentingnya, maka prinsip Miranda rule yang diterapkan di Amerika Serikat sejak tahun 1966, telah banyak diakomodir oleh banyak negara, termasuk pula oleh Indonesia. Dengan diaturnya prinsip-prinsip Miranda rule tersebut ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maka seseorang tersangka yang telah melakukan tindak pidana, sebelum dirinya diperiksa oleh penyidik, maka tersangka tersebut mempunyai hak-hak tertentu yang harus dihormati oleh penyidik dan/atau polisi[10].
Hak-hak tertentu tersebut di atas sering dikenal dengan nama popular Miranda rights, yang diakui secara universal oleh seluruh negara di dunia, ialah:
a.      Hak untuk diam, dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi, sebelum diperiksa oleh penyidik;
b.      Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum atau advokat yang bersangkutan;
c.      Hak untuk memilih sendiri penasihat hukumna atau advokat;
d.      Hak untuk disediakan penasihat hukum, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasihat hukum atau advokat sendiri.
Di samping dengan adanya Miranda rights tersebut, juga dikenal dengan Miranda warning, yakni sebagai suatu peringatan harus diberikan oleh penyidik kepada tersangka. Di Amerika Serikat, warning ini dikenal dengan the four Miranda warning yang dapat diartikan sebagai berikut[11]:
“…Anda mempunyai hak untuk diam. Segala sesuatu yang kamu katakan dapat digunakan untuk melawanmu dipengadilan. Kamu berhak berkonsultasi dengan pengacaramu dan mendapatkan pendampingan pada saat pemeriksanaanmu. Jika kamu tidak punya lawyer, akan disediakan oleh negara…”.
Di Amerika Serikat tidak bisa memberikan pertanyaan kepada tersangka di tempat kejadian, dan jika hal ini dilakukan maka hal ini tidak sah dan tidak dapat dijadikan barang bukti untuk memberatkan tersangka di pengadilan. Namun polisi tetap bisa memberikan pertanyaan tentang identitas tersangka, seperti: nama, tempat tanggal lahir, alamat dan identitas lainnya, tanpa terlebih dahulu membacakan peringatan tersebut (Miranda warning)[12].
Di Amerika Serikat, tidak ada suatu aturan tentang bagaimana polisi memberikan warning kepada seseorang tersangka. Penangkapan oleh polisi dapat dinyatakan tidak sah, apabila polisi mengabaikan untuk membaca hak-hak tersangka (Miranda warning) tersebut. Akan tetapi hal itu dapat dijumpai dalam Peraturan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang memberikan patokan sebagai berikut:
Tersangka sebelum diinterogasi harus memberikan informasi secara jelas bahwa ia berhak untuk diam, dan segala apa yang dikatakannya bisa digunakan untuk melawannya (memberatkannya) di pengadilan, tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan dari penasihat huku, jika tersangka tidak mampu akan disediakan penasihat hukum secara gratis.
Hak-hak yang telah diatur dalam Miranda rule tersebut di atas, juga diatur di dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni:
a.      Hak untuk dianggap sama di depan hukum (equality before the law) terdapat di dalam (Pasal 17 UU HAM);
b.      Hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif (5 ayat 2 UU HAM);
c.      Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil;
d.      Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (pasal 18 ayat 1 UU HAM);
e.      Hak untuk dituntut hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.        Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka, jika terjadi perubahan aturan hukum (Pasal 18 ayat 3 UU HAM);
g.      Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat 4 UU HAM);
h.      Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 18 ayat 2 UU HAM);
i.        Hak untuk tidak untuk dituntut untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama asas nebis in idem (Pasal 18 ayat 5 UU HAM);
j.         Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 18 ayat 1 UU HAM);
            Prinsip-prinsip Miranda rule ini, di Indonesia tidak semuannya dapat diakomodir ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya dua prinsip Miranda rule yang sudah diakomoir dalam peraturan perundang undangan yaitu: hak untuk mendapatkan atau menghubungi penasihat hukum/advokat, dan jika tidak mampu berhak untuk disediakan penasihat hukum/advokat.
C. Penerapan Miranda Principles dalam KUHAP
Miranda Rule sebagai hak tersangka. Hak-hak tersebut harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) dalam proses peradilan pidana di Indonesia yakni:
a.      Hak untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, diajukan kepada penuntut umum, dan segera perkaranya dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 50 ayat 1, 2, dan ayat 3 KUHAP)
b.      Hak untuk diberitahukan dengan jelas bahasa yang mudah dimengerti oleh tersangka atas apa yang disangkakan kepadanya, dan didakwakannya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 butir 1 a dan b KUHAP)
c.      Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan kepada hakim pada tingkat penyidikan di pengadilan (Pasal 52 KUHAP);
d.       Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa (Pasal 53 ayat 1)
e.      Hak untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan selama dalam waktu pada setiap tingkatan pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP) pasal ini seharusnya juga memberikan perlindungan kepada saksi atas bantuan hukum secara cuma-cuma, karena dalam praktek sering sekali seorang saksi secara sewenang-wenang dipanggil sebagai saksi dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
f.        Hak untuk mendapatkan bantuan hukum terhadap terdakwa yang dihukum 15 tahun atau lebih, atau bagi terdakwa yang diancam dengan pidana lebih dari lima tahun (Pasal 56 KUHAP). Pasal ini bertentangan dengan prinsip bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan pidana terhadap setiap tuduhan yang disangkakan kepadanya. Karena pasal ini dala prakteknya sering sekali seorang tersangka tidak didampingi oleh penasihat hukumnya karena ancaman hukumannya kurang dari lima tahun (>5 tahun) cth: Tindak pidana Penipuan yang hukumannya 4 tahun, dan perbuatan tidak menyenangkan yang hukumannya 1 tahun.
g.      Hak tersangka untuk menghubungi penasihat hukum, dan hak untuk menghubungi perwakilan negara asing apabila tersangka adalah Warga Negara Asing (Pasal 57 KUHAP).
h.      Hak menerima kunjungan dokter (Pasal 58 KUHAP);
i.        Hak untuk diberitahukan kepada keluarga prihal penahanannya, hak memperoleh penangguhan penahanan (Pasal 58 dan 60 KUHAP);
j.         Hak tersangka untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga (Pasal 61 KUHAP);
k.      Hak tersangka untuk menerima surat (Pasal 62 KUHAP);
l.         Hak mendapatkan kunjungan rohaniawan (Pasal 63 KUHAP)
m.    Hak untuk diadili di sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP jo. Pasal 19 ayat 1 UU No.4 Tahun 2004);
n.      Hak terdakwa agar tidak dibebani oleh kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP);
o.      Hak terdakwa untuk menuntut dan mendapatkan ganti kerugian serta rehabilitasi (Pasal 68 jo. Pasal 95 ayat 1 jo. Pasal 97 ayat 1 KUHAP)
p.      Hak terdakwa untuk mengajukan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa (Pasal 156 KUHAP);
q.      Hak untuk mengajukan upaya hukum (Pasal 67 jo. Pasal 233, Pasal 244 dan pasal 263 ayat 1 KUHAP);
D. Penerapan Miranda Principles dalam perlindungan Tersangka dan Terdakwa di dalam RUU KUHAP dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik. 
Pasal 88-102 RUU KUHAP mengatur hak-hak tersangka dan terdakwa, secara garis besar isu-isu hak-hak tersangka dan terdakwa adalah sebagai berikut:
1.      Speedy trial dijelaskan di dalam pasal 88 ayat (4) dimana dijelaskan di dalam waktu 120 hari terhitung sejak ditahan terdakwa harus sudah diperiksa di pengadilan;
2.      Rights to silence dijelaskan di dalam pasal 90 ayat (1) dimana terdakwa berhak menolak untuk memberikan keterangan;
3.      Hak untuk mendapatkan juru bahasa (pasal 91);
4.      Rights to counsel di dalam pasal 93 ayat (1) menjelaskan pejabat yang berwenang pada setiap tingkat pemeriksaan wajib menunjuk seserorang sebagai penasihat hukum untuk member bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. Rights to counsel juga ditentukan oleh hakim komisaris (pasal 111 ayat (1) huruf f);
5.      Hak untuk menerima kunjungan dokter, rohaniawan, dan keluarga dijelaskan di dalam pasal 97 sampai dengan pasal 99;
6.      Hak untuk berkomunikasi dijelaskan di dalam pasal 100 (1), akan tetapi jika terdapat cukup alasan di duga ada penyalahgunaan surat menyurat, maka surat menyurat antara terdakwa dan penasihat hukumnya dapat diperiksa oleh pejabat yang bersangkutan (pasal 100 (2));
7.      Equality of arms atau hak untuk mengajukan saksi ahli (pasal 101)
8.      Hak atas tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi yang berhubungan dengan peradilan yang sesat (mischarge of justice) yang diatur di dalam pasal 102.
Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dalam UU No.12 Tahun 2005 menjelaskan tentang fair trial, yaitu:
1.      Hak atas public hearing yang dikecualikan atas alasan moral, ketertiban umum, dan kemanan nasional di dalam masyarakat yang demokratis (pasal 14 ayat (1);
2.      Persidangan harus dilakukan oleh peradilan yang kompeten, independen, dan imparsial (pasal 14 ayat (1);
3.      Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) (pasal 14 ayat (2);
4.      Speedy trial dalam proses peradilan (pasal 14 ayat (3) huruf c;
5.      Hak untuk diberitahukan secara cepat dan detail atas sangkaan/dakwaan yang ditujukan kepada tersangka dengan bahasa yang dimengerti olehnya;
6.      Hak untuk mendapatkan fasilitas dan waktu yang memadai dalam mempersiapkan pembelaannya (pasal 14 ayat (3) huruf b;
7.      Hak atas bantuan hukum (pasal 14 ayat (3) huruf d), dan untuk rights to counsel diberikan kepada terdakwa/ tersangka yang tidak mampu membayar pengacara dan ketika kepentingan keadilan memungkinkan (the interest of justice);
8.      Rights to appeal atau hak untuk mengajukan upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali (pasal 14 ayat (5);
9.      hak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan (pasal 14 ayat (3) huruf g);
10. hak untuk kompensasi sebagai akibat mischarge of justice atau peradilan yang sesat (pasal 14 ayat (3)).
RUU KUHAP dan UU No.8 Tahun 1981 masing-masing mempunyai kelemahan dalam melindungi hak-hak tersangka ata terdakwa. Baik RUU KUHAP dan UU No. 8 Tahun 1981 membatas rights to counsel atas dasar berat ringannya hukuman (diatas lima tahun). Artinya untuk terdakwa/ tersangka yang tidak mampu membayar pengacara, dan diancam dengan hukuman di bawah lima tahun maka tersangka/terdakwa tersebut tidak memperoleh rights to counsel. Padahal menurut (pasal 14 ayat (3) huruf d UU No.12 Tahun 2005 rights to counsel diberikan jika terdakwa tidak mampu membayar advokat dan jika kepentingan keadilan memungkinkan. Komite HAM PBB melalui beberapa jurisprudensinya menjelaskan kepentingan-kepentingan keadilan tidak hanya berat ringannya hukuman saja, tetapi juga ketika kebebasan terdakwa/tersangka atas rights to counsel. Rights to counsel tidak bisa dibatasi hanya karena mekanisme, maupun procedural/administrasi untuk memperolehnya[13].
Public hearing tidak diletakan dalam ketentuan hak-hak tersangka/terdakwa di dalam RUU KUHAP. Sementara pasal 64 UU No.8 Tahun 1981 dan pasal 14 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik menjamin Public hearing kecuali dengan alasan-alasan yang menyangkut kepada alasan moral, ketertiban dan keamanan nasional. Fungsi Public hearing adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui dan memantau jalannya persidangan, khususnya akses media atas persidangan. Dalam kasus-kasus tertentu seperti pemerkosaan dan kasus anak dimungkinkan pengesampingan Public hearing. Rights to appeal dan juga hak untuk mempersiapkan pembelaan dengan fasilitas dan waktu yang layak, juga sebaiknya dimasukan ke dalam hak-hak tersangka dan terdakwa di dalam RUU KUHAP.
Hak-hak terdakwa untuk memperoleh peradilan yang independen, kompeten, dan imparsial. Baik RUU KUHAP maupun UU No.8 Tahun 1981 tidak meletakan kompeten, independen, dan imparsialitas pengadilan berada dalam wilayah hak terdakwa. Baik UU No.8 Tahun 1981 maupun kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik mengatur banding termasuk hak dari terdakwa. Kovenan hak-hak sipil dan politik menjelaskan hak dari tersangka dan terdakwa untuk mempersiapkan pembelaan dengan waktu dan fasilitas yang memadai atau layak. UU No.8 Tahun 1981 dan RUU KUHAP tidak meletakan isu ini sebagai bagian dari hak terdakwa. Dalam sebuah kasus pidana terdakwa/tersangka dan pengacarannya membutuhkan dokumen-dokumen yang relevan dengan perkara. Baik RUU KUHAP maupun UU No.8 Tahun 1981 mengakui bahwa akses terdakwa dan pengacarannya atas Berita Acara Pemeriksaan (BAP).  Tetapi tidak hanya BAP yang dibutuhkan oleh pengacara, dokumen-dokumen lain  yang relevan dengan kasus pidana seperti hasil visum juga harus dapat diakses oleh pengacara dan terdakwa.
RUU KUHAP sendiri terdapat kemajuan (progress) dalam perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa, khususnya menyangkut rights to silence, dan hak untuk berkomunikasi dengan pengacaranya, dimana RUU KUHAP sudah menghapuskan pembatasan komunikasi antara pengacara dengan terdakwa dalam hal kejahatan negara seperti yang diatur di dalam UU No.8 Tahun 1981.
A.  KESIMPULAN
Setelah diteliti, penulis mengambil kesimpulan bahwa Miranda Principle telah dituangkan di dalam  UU  No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik. Namun di dalam pelaksanaanya masih dijalankan secara setengah hati, seperti dalam rights to counsel atau atas bantuan hukum secara Cuma-Cuma, yang masih dibatasi hanya kepada tersangka yang diancam hukuman > 5 tahun, sehingga terhadap tersangka yang diancam  hukuman < 5 tahun tidak memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sehingga hak access rights to counsel menjadi terhambat akibat aturan formal dalam KUHAP. Selain itu seharusnya access rights to counsel juga diberikan kepada saksi, karena pada prakteknya banyak seorang saksi dipanggil sebagai saksi oleh Kepolisian, yang kemudian tanpa diduga-duga ditetapkan sebagai tersangka. Kerap kali penyidik melakukan pertanyaan yang menyesatkan untuk menjebak saksi. Hal ini sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, sehingga saksi juga berhak untuk di damping oleh penasihat hukum, mendapatkan bantuan hukum dalam setiap tingkatan pemeriksaan di kepolisian. RUU KUHAP tidak memberikan tambahan yang mengarah kepada arah yang lebih baik, melainkan tidak melahirkan hal yang baru mengenai hak-hak tersangka dalam pemenuhan dan pengormatan hak asasi manusia, sesuai dengan prinsip universal dalam hukum acara pidana, sebagaimana diatur mengenai Miranda rights bagi tersangka ataupun terdakwa.



DAFTAR PUSTAKA
Irwansyah Putra, “Miranda Principles”, Tabloid Hukum dan Kriminalitas Metro Brata, edisi 6 bulan Juni, Tahun 2009

UliParulian Sihombing, Perlindungan Hak-Hak Tersangka & Terdakwa Menuju Justice Sector Reform, disampaikan dalam diskusi tematik KUHAP “Hak-hak tersangka dan terdakwa” di LBH Jakarta, tanggal 30 Januari 2009

UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

UU  No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU  No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
Edisi Revisi 2008.

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/jendelaantarbangsa/siksaan_polisi_laporkan20080710-redirected


http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ua2007/78



[1] Disampaikan pada acara diskusi hukum Widyaiswara dengan tema “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”, di BPSDM Hukum dan HAM RI pada tanggal 30 Juni 2010
[2] Penulis adalah calon Widyaiswara BPSDM Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI

[3]http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/jendelaantarbangsa/siksaan_polisi_laporkan20080710-redirected

 

[4] http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ua2007/78/

[5] Pengalaman Hartoyo,”Penyiksaan itu makanan pokok anggota Polisi” , dalam diskusi Tematik RUU KUHAP, di LBH Jakarta, 2009.
[6] Sumber LBH Mawar Saron Jakarta, 2008 Kasus Sufong.
[7] Sumber LBH Mawar Saron Jakarta, 2009 Kasus Penyiksaan.

[8]http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/jendelaantarbangsa/siksaan_polisi_laporkan20080710-redirected

 

[9] Irwansyah Putra, “Miranda Principles”, Tabloid Hukum dan Kriminalitas Metro Brata, edisi 6 bulan Juni, Tahun 2009.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] UliParulian Sihombing, Perlindungan Hak-Hak Tersangka & Terdakwa Menuju Justice Sector Reform, disampaikan dalam diskusi tematik KUHAP “Hak-hak tersangka dan terdakwa” di LBH Jakarta, tanggal 30 Januari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar